WIRAnews.com, NUNUKAN “ Bisa bersekolah di Indonesia, dikatakan sebuah anugerah yang menurut anak-anak Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Malaysia, patut disyukuri. Mereka yang terbiasa dengan kurikulum dan segala hal tentang Malaysia, kini bisa lebih dekat dan lebih mengenal tanah airnya. Alumni Community Learning Center (CLC) Supardi (21) menuturkan, kebanyakan anak-anak TKI mengetahui tentang budaya Indonesia melalui TV, dan hanphone Android. ˜’Kita sering melihat tayangan alam Indonesia dan berita-berita Indonesia lewat TV yang ada di camp. Tapi itu harus menggunakan parabola, sementara disana salurannya Astro dan mendaftar harus pakai IC (Identity Card). Kalau ada razia, harus disembunyi itu antena,” tutur mahasiswa semester VI Politeknik Negeri Sriwijaya Palembang ini. Selama 3 tahun, CLC melalui para relawan pengajar Indonesia terus menanamkan jiwa nasionalisme dan patriotisme. ˜’Kami memang besar di Malaysia, tapi orang tua kami, nenek moyang kami Indonesia. Kami bertekad menempuh pendidikan tinggi, mengangkat derajat orang tua dan berbuat semampu kita untuk Indonesia,” tegas pria yang bercita cita menjadi dosen ini. CLC atau disebut juga Sekolah Menengah Pertama Terbuka (SMPT) merupakan sekolah lanjutan untuk anak-anak TKI yang menyelesaikan sekolahnya di Humana, sebuah pusat belajar komunitas level pra sekolah dan SD yang didirikan LSM Malaysia dengan kurikulum Malaysia. Ada 45 CLC yang tersebar di seluruh Sabah, dan semuanya berpusat di Sekolah Indonesia Kota Kinabalu (SIKK) Malaysia. <h4>TRAUMA KARENA SERING DIKEJAR APARAT.</h4> Sebagai seorang anak TKI yang tinggal di Negara orang merupakan pengalaman tersendiri bagi Supardi. Demi menghindar dari kejaran aparat Malaysia dia bahkan rela berlari menembus pekatnya malam untuk mencari tempat persembunyian. Puluhan anak TKI yang belum memiliki passport akan berlarian masuk hutan, mendaki bukit dan harus bermalam di tengah belantara. <div> <div><span class=”ctaText”>Baca Juga:</span>Â Â <span class=”postTitle”>Gumolung Bonte, Salah Satu Legenda Dunia Pendidikan Nunukan Purna Tugas</span></div> </div> ˜’Seringkali ada operasi pendatang haram mendadak, kami yang belum berpasport saat itu harus segera lari kencang menjauh,” tuturnya. Akibat peristiwa tersebut, Supardi mengaku trauma dan memiliki kenangan buruk saat bertemu dengan aparat keamanan. ˜’Sampai sekarang saya takut sekali dengan polisi, tatapan mereka menurut saya menyeramkan,” katanya. Saking seringnya mereka lari ke hutan di atas bukit, sejumlah tenda dan gubuk sederhana terbangun di lokasi pelarian. Di tempat itulah puluhan anak TKI berkumpul dan tidur berdesak-desakan dan biasanya akan pulang setelah hari menjelang siang. Supardi mengaku tidak menyesal harus menjalani itu semua. Orang tuanya mengajarkan betapa kehidupan tidak selamanya seperti yang diinginkan. Diri kita sendirilah yang harus merubah dan berusaha untuk menjadi berarti. ˜’Bapak saya tidak pernah mengizinkan saya membantunya bekerja, dia hanya mau saya tak bernasib macam beliau. Bapak kata sudahlah fikirkan saja sekolahmu, masalah biaya selagi bapak mampu jangan khawatir” kata Supardi meneteskan air mata. Reporter : Viqor