WIRAnews.com, NUNUKAN “ Pasca pelarangan penambangan pasir ilegal di sepanjang pantai pulau Sebatik, kini ketersediaan pasir di daerah tersebut mengalami kelangkaan. Ketersediaan pasir di Pulau Sebatik saat ini berasal dari kota Palu, Sulawesi Tengah, dengan harga beli mencapai tiga kali lipat. “Kita biasa beli enam ratus ribu rupiah per rit, sekarang kita harus membeli pasir yang didatangkan dari Palu, dengan harga sekitar dua juta rupiah per rit,” ujar Sultan warga Sebatik, Jumat (18/6/2021). Menurut Sultan, kebijakan menutup total penambangan pasir sebelum adanya solusi, mengakibatkan terhentinya pembangunan di pulau Sebatik dan memaksa masyarakat mengeluarkan dana pembangunan lebih besar akibat disparitas harga pasir. “Mohon pemerintah carikan dulu solusi disparitas harga pasir. Saat ini harga pasir kami rasa cukup mencekik. Meski ada pasir gunung di Nunukan, kendala biaya LCT jadi masalah juga,” kata Sultan. TANGGAPAN PEMERINTAH DAERAH. Pemerintah bersikukuh pelarangan penambangan pasir ilegal tersebut murni karena mengkhawatirkan dampak yang ditimbulkan akibat aktivitas itu. “Kami tidak ada kewenangan dalam hal pengadaan pasir atau bagaimana menjamin ketersediaan pasir. Tapi ketika penambangan ilegal dihentikan, pasti teori suply and demand berlaku. Selama pasir masih masuk pulau Sebatik, pembangunan tidak akan terhenti, ujar Ahmad Musafar, Kabid Penataan Hukum dan Peningkatan Kapasitas Lingkunag Hidup DLH Nunukan. Musafar menjelaskan, kasus penambangan pasir ilegal ini juga pernah mencuat juga pada periode pemerintahan Bupati Nunukan pertama H.Abdul Hafid Ahmad. Saat itu beberapa masyarakat ada yang meminta izin mengambil pasir untuk membangun rumah pribadi. Kebijakan keluar dengan perjanjian mengambil seperlunya, dengan syarat tidak untuk diperjual belikan. Masyarakat juga setuju untuk langsung berhenti mengambil pasir pantai saat terjadi dampak abrasi. “Yang terjadi faktanya mereka tidak mau berhenti, malah menjadi ladang bisnis. Ini terkuak saat kami melakukan sosialisasi kepada masyarakat. Mereka mengakui ada perjanjian itu, sayangnya itu hanya perjanjian lisan,” jelas Musafar. Ia menegaskan, Pemerintah Daerah juga sudah memikirkan dampak dari pelarangan tersebut akan memutus mata pencaharian penambang ilegal. Akan tetapi dampak itu tidak sebanding dengan imbas dari aktivitas ilegal yang selama ini mereka kerjakan. “Kami sarankan untuk pemuda-pemuda Sebatik yang kehilangan pekerjaan datang ke Disnaker. Disana nanti diarahkan ke BLK, mereka bisa belajar pekerjaan lain ketimbang melakukan kegiatan ilegal,” saran Musafar. Masih kata Musafar, jika membandingkan visual citra satelit pada 2018 dan 2021, perubahan garis dan kondisi pantai pulau Sebatik mengalami perubahan signifikan. “Bahkan kami jumpai di Desa Sei Manurung, Tanjung Karang, ada bekas penebangan pohon ulin itu berada di laut. Artinya dulunya itu daratan karena pohon ulin tidak tumbuh di laut. Dari perhitungan rangefinder, kami temukan ada pergeseran sekitar 70 meter. Jadi laut disana memang sudah jauh masuk ke daratan,” katanya. Reporter : Viqor